Posted by: Indonesian Children | January 10, 2009

BIORESONANSI : TIDAK DIREKOMENDASIKAN

UNPROVEN TEST  –  ALTERNATIVE TEST  :

TES YANG TIDAK DIREKOMENDASIKAN

KONTROVERSI PEMERIKSAAN TES   

BIORESONANSI  DALAM DIAGNOSIS ALERGI

 

DIAGNOSIS DAN TERAPI ALTERNATIF

BIORESONANSI, BERMANFAATKAH ?

  • Pemeriksaan elektromagnetik yang berdasarkan biofisika seperti bioresonansi, tes vega, atau biotensor adalah metoda diagnosis unproven dan “unorthodox” atau tak lazim dipakai dalam mendiagnosis alergi dan beberapa penyakit. Pemeriksaan ini digunakan tidak berdasarkan dasar ilmiah dan tidak terdapat data ilmiah bersifat penelitian terkontrol yang dapat membuktikan manfaat alat diagnosis ini.
  • Pemeriksaan vega hanya akan menimbulkan penanganan penyakit yang tidak benar dan menimbulkan beban tambahan biaya bagi pasien dan masyarakat. (Journal Med J Aust 1991; 155: 113-114)

Dalam beberapa tahun belakangan ini, berbagai terapi alternatif banyak bermunculan di Indonesia. Diantaranya adalah terapi lilin, terapi batu giok, terapi kalung, terapi magnetic dan yang terakhir adalah terapi bioresonansi. Saat ini di berbagai tempat di Indonesia khususnya di Jakarta banyak bermunculan terapi alternatif bioresonansi. Sebagai alat terapi dan diagnosis alternatif, tentunya masih menjadi kontroversi. Meskipun sebagai terapi alternatif, tetapi tetap saja banyak dokter yang menggunakannya. Dokter dan klinisi yang memakai alat tersebut “mengklaim” bahwa alat ini dapat digunakan mencari dan menyembuhkan alergi tanpa obat. Sedangkan penderita alergi yang sudah frustasi dengan berbagai keluhan yang ada dan sudah bosan minum obat jangka panjang pasti akan tertarik untuk mencobanya. Benarkah alat bioresonansi, bermanfaat secara klinis.

Alergi adalah penyakit konis dan berlangsung lama dan akan hilang timbul timbul sangat mengganggu. Alergi adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan, hirupan atau yang lainnya. Sebagai suatu penyakit kronis yang berkepanjangan, membuat para klinisi maupun penderita kadang frustasi. Akibatnya, banyak timbul terapi alternatif untuk mengatasi keluhan yang berkepanjangan tidak membaik. Meskipun ilmu dan tehnologi kedokteran sangat maju, tetapi ternyata tidak membuat penyakit alergi membaik, bahkan sebaliknya kasusnya semakin meningkat saja. Berbagai keluhan tubuh yang sering dikaitkan dengan gejala alergipun masih banyak diperdebatkan. Seperti migraine, kolik, konstipasi, gangguan perilaku dan sebagainya masih diperdebatkan apakah alergi makanan berkaitan dengan gejala tersebut. Tampaknya salah satu penyebab berbagai masalah kontroversi tersebut, sampai saat ini belum ada alat diagnosis yang dapat memastikan penyebab alergi kecuali secara klinis atau eliminasi provokasi. Selain belum jelasnya terungkap misteri alergi, juga didukung oleh tingginya kasus penderita alergi dalam masyarakat. Sehingga peluang bisnis ini dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menggunakan alat kesehatan komersial.

Bioresonansi

 
Alat  yang digunakan dalam terapi bioresonansi sering disebut sebagai Vega, Biocom, Biovoive, Biotensor dan berbagai sebutan lainnya. Alat ini ditemukan oleh Hans Brugemann dari Jerman sekitar tahun 1976, dan dipopulerkan oleh Dr Peter Schumacher sebagai teknik yang ampuh untuk menyembuhkan alergi, pada tahun 1991.
Cara penggunaannyapun tidak terlampau rumit dan cukup sederhana. Pada proses deteksi dan penyembuhan alergi, pasien duduk di kursi atau berbaring di dekat alat ini. Dari alat tersebut menjulur kabel yang dihubungkan ke elektroda berupa bola yang dipegang pasien. Dan di bantalan tempat duduk atau pembaringan pasien, terdapat kabel lain yang terhubung ke mesin tersebut.
Alat elektroresonansi ini bekerja dengan menangkap gelombang energi tubuh, menghasilkan pola gelombang energi yang menyembuhkan. Setelah terapis memasukkan program penyembuhan yang akan dilakukan dan menekan tombol start, maka proses penyembuhan pun berjalan. Setelah selesai, mesin akan mati dengan sendirinya.

Bahkan berbagai pihak mengkalim bahwa alat ini juga bisa digunakan untuk melakukan diagnosa. Ada sesi tes elektroakupunktur untuk mengukur secara fisik kondisi energi pada pusat energi (meridian) dan ditampilkan gambarnya. Dengan begitu, kesimpulan dapat diambil berdasarkan fungsi organ yang terganggu. Dari situ, dengan cepat dapat menemukan pemicu alergi pasien. Bukan sampai disitu ternyata bahwa alat ini juga dikatakan dapat menyembuhkan berbagai penyakit kronis lainnya.

Dalam terapi medis pada umumnya mengunakan dasar ilmu imunopatofisiologi yang dapat dijelaskan dengan pendekatan biomolekular. Sedangkan terapi bioresonansi adalah pengobatan yang menggunakan pendekatan ilmu fisika gelombang atau teori kuantum. Resonansi (getaran) adalah satu fenomena dalam fisika. Resonansi inilah yang dikatakan dapat dipakai untuk mendeteksi dan mengobati alergi. Teori kuantum yang ada itu tampaknya dikaitkan dengan manifestasi peyakit termasuk penyakit yang diakibatkan alergi. Teori yang tidak lazim di bidang kedokteran yang dianut adalah setiap sel dalam tubuh manusia selalu berkomunikasi satu sama lain pada frekuensi tertentu. Jika komunikasi tersebut berjalan harmonis, berarti orang itu berada dalam kondisi sehat. Tapi jika masuk toksin atau benda tertentu yang bisa menyebabkan alergi, maka pola frekuensinya akan terganggu dan menyebabkan terganggunya fungsi organ tubuh. Secara ilmiah teori tersebut sangat jauh menyimpang dari teori dasar mekanisme terjadinya alergi. Perbedaan dasar pemikiran teori non ilmiah inilah yang menjadikan bahwa, terapi bioresonansi dianggap sebagai terapi alternatif.

Dengan menggunakan Bioresonansi, pola frekuensi yang menyebabkan penyakit tersebut dapat diubah menjadi pola frekuensi yang efektif dalam penyembuhan penyakit. Dengan demikian, yang terjadi adalah mengaktifkan dan memperkuat mekanisme penyembuhan diri sendiri dalam tubuh sehingga terjadi penyembuhan.

Terapi medis atau terapi alternatif

Di bidang ilmu kesehatan sering dibedakan antara terapi medis dan terapi alternatif. Terapi medis adalah penatalaksanaan atau pengobatan suatu penyakit atau kelainan yang berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan di bidang kedokteran. Penanganan di dalam ilmu kedokteran harus berdasarkan berbagai latar belakang ke ilmuan kedokteran seperti imunopatobiofisiologis atapun secara biomolekular. Dalam penerpannyapun harus berdasarkan penelitian medis berbasis pengalaman klinis.

Secara ilmiah berbagai terapi yang diberikan juga harus berdasarkan pengalaman klinis dengan berbasis pada penelitian ilmiah yang terukur. Dalam kurun waktu terakhir ini pemberian pengobatan di bidang kedokteran sudah beralih ke arah Evidance Base medicine (EBM) atau pengalaman klinis berbasis bukti. Tujuan utama dari EBM adalah membantu proses pengambilan keputusan klinik, baik untuk kepentingan pencegahan, diagnosis, terapetik, maupun rehabilitatif yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan

Sedangkan terapi alternatif adalah berdasarkan pendekatan pengobatan tradisional turun temurun baik dari mulut kemulut berbagai pengalaman diperoleh dari warisan nenek moyang yang tidak berdasarkan kaidah ilmiah atau bertentangan dengan ilmu kedokteran. Meskipun sebenarnya tidak semua terapi alternatif tidak bermanfaat. Saat ini ada juga terapi alternatif yang mulai disinergikan dengan terapi di bidang ilmu kedokteran seperti terapi akupuntur. Hal seperti inipun harus melalui proses penelitian secara ilmiah yang berlangsung lama, dan memang terbukti secara klinis.

Terapi atau alat diagnosis alternatif meskipun tidak berdasarkan kaidah ilmiah juga banyak dilakukan oleh profesional medis di bidang kedokteran seperti dokter, terapis dan lain sebagainya. Secara aspek legal dan secara etika kedokteran sebenarnya hal tersebut tidak dilazimkan karena akan menyimpang dari kompetensi dan profesionalitas seorang dokter.

Terdapat perbedaan mendasar lainnya untuk mengetahui keberhasilan terapi medis dan terapi alternatif. Di bidang medis alat ukur keberhasilan medis harus berdasarkan penelitian terukur dan sahih secara statistik. Misalnya dalam penggunaan obat asma, harus diketahui tingkat keberhasilan dari 100 pemakai sekitar 80 yang berhasil dengan memperhatikan dengan cermat berbagai faktor yang mempengaruhi pengobatan tersebut.

Sedangkan terapi alternatif, biasanya diukur berdasarkan pengakuan orang perorang dalam menentukan keberhasilannya. Sehingga akurasi dan validitas keberhasilannya tidak bisa diketahui secara pasti. Sering dilihat di televisi dalam acara terapi alternatif oleh seseorang bukan berlatar belakang nonmedis, bahwa pengakuan seorang sembuh karena terapi yang diberikan. Mungkin saja memang penderita tersebut berhasil dengan terapi alternatif tersebut, tetapi tidak diketahui apakah yang tidak berhasil juga lebih banyak lagi. Di bidang medis seorang dokter tidak boleh menyebutkan keberhasilan pengobatan berdasarkan kesaksian keberhasilan seorang pasien tetapi harus berdasarkan penelitian sebuah jurnal kesehatan yang kredibel atau jurnal yang dapat diakses di pubmed secara online.

Sebagai terapi alternatif, bermanfaatkah ?

 
Dengan semakin pesat perkembangan tehnologi ternyata sangat menunjang perkembangan dalam bidang ilmu kedokteran telah membawa banyak perubahan dalam penatalaksanaan penanganan penyakit. Namun sayangnya, perkembangan tehnologi atau kecanggihan alat tehnologi di bidang kedokteran tersebut belum tentu menggambarkan keberhasilannya. Memang, banyak alat tehnologi canggih yang terbukti secara klinis dapat membantu pengobatan di bidang kedokteran seperti CT scan, MRI, ultrasound 4 dimensi dan sebagainya. Tetapi banyak alat canggih lainnya ternyata tidak terbukti secara klinis berperanan dalam bidang kedokteran.

Mengapa terapi bioresonansi dianggap sebagai terapi alternatif ? Bioresonansi adalah pendekatan terapi berdasarkan ilmu biofisika. Mungkin sampai tahap ini tidak masalah, menjadi masalah ketika digunakan sebagai alat diagnosis alergi apalagi sebagai terapi alergi.
Mekanisme penyakit alergi adalah adanya paparan awal, alergen dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T. Sel-T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe. Alergen yang intak diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus,yang pada anak atopi cenderung terbentuk IgE lebih banyak. Selanjutnya terjadi sensitisasi sel mast pada saluran cerna, saluran nafas dan kulit. Kombinasi alergen dengan IgE pada sel mast bisa terjadi pada IgE yang telah melekat pada sel mast atau komplek IgE-Alergen terjadi ketika IgE masih belum melekat pada sel mast atau IgE yang telah melekat pada sel mast diaktifasi oleh pasangan non spesifik, akan menimbulkan degranulasi mediator. Sehingga secara klinis, pengukuran petanda alergi hanya dengan menggunakan tes kulit atau IgE spesifik. Meskipun alat diagnosis ini belum memastikan penyebab alergi, karena harus dikonfirmasikan dengan tahapan eliminasi provokasi yang sebagai alat diagnosis baku emas (gold standard). Sedangkan pada pemeriksaan bioresonansi sebagai alat diagnosis tidak mengikuti kaidah imunopatofisiologis seperti tersebut di atas.

Sebagai alat terapipun bioresonansi menyimpang dari kaidah ilmu kedokteran. Terapi alergi yang ideal adalah mengidentifikasi dan menghindari penyebabnya. Sedangkan obat-obatan adalah mengurangi respon inflamasi tubuh yang disebabkan meningkatnya mediator yang ada dalam reaksi alergi. Mekanisme yang terjadi dalam terapi bioresonansi juga menyimpang dari pathogenesis tersebut.

Dalam menilai keberhasilan terapi, biasanya dengan menilai pengalaman medis berbasis bukti. Yang paling mudah adalah mencari bukti penelitian yang diakui oleh komunitas kedokteran adalah jurnal-jurnal yang dimuat dalam Pubmed yang dapat diakses secara online. Sampai saat inipun dalam jurnal yang dimuat dalam pubmed tidak ada satupun penelitian yang mendukung keberhasilan alat diagnosis dan alat terapi bioresonansi. Memang mungkin terdapat beberapa kesaksian bahwa dengan penanga alat tersebut keluhan membaik, tetapi kita belum tahu apakah juga banyak penderita yang tidak berhasil. Keluhan penderita yang membaikpun, tampaknya juga dikarenakan penderita harus menghindari makanan tertentu yang dicurigai sebagai penyebab alergi. Yang menjadi masalah adalah akurasi alat tersebut. Seperti misalnya dikatakan dengan alat tersebut bahwa penderita mengalami alergi nasi. Kalau diagnosis tersebut tidak benar, alangkah malangnya seumur hidupnya penderita dilarang makan nasi.

Berdasarkan berbagai kajian ilmiah tersebut maka berbagai institusi alergi dunia dan internasional tidak merekomendasikan dan menolak dengan keras penggunaan tes alergi yang bersifat  unproven, unorthodox dan alternative  sebagai alat diagnosis dan alat terapi pada penderita alergi. Institusi tersebut adalah ASCIA (The Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy), WAO (World Allergy Organization), AAAI (The American Academy of Allergy, Asthma and Immunology) dan berbagai institusi internasional lainnya. Secara faktual hal itu juga dapat dilihat bahwa pengguna alat bioresonansi bukan dokter yang ahli dan berkopeten di bidang alergi, seperti spesialis anak alergi atau spesialis penyakit dalam alergi. Tetapi digunakan oleh dokter atau klinisi diluar bidang tersebut seperti sebagian dokter umum, dokter penyakit dalam, dan sebagainya. Tampaknya sampai saat ini tidak ada satupun dokter spesialis alergi anak dan alergi dewasa yang menggunakan alat tersebut.

Berbahayakah terapi

 

alternatif ?

 
Penggunaan terapi alternatif secara klinis masih belum dilakukan penelitian secara menyeluruh tentang manfaat dan efek sampingnya. Sehingga seringkali klinisi tidak bisa mengungkapkan kemungkinan bahaya penggunaan terapi alternatif. Bagaimana dengan terapi alternatif atau  biresonansi berbahayakah ? Sampai saat inipun masih belum ada penelitian klinis yang dapat membuktikan efek samping dan bahaya alat tersebut. Kalaupun nantinya mungkin pendekatan terapi tersebut tidak menimbulkan efek samping tetapi ternyata membuat penanganan penyakit alergi semakin tidak jelas dan pemperburuk perjalanan penyakit dan timbulnya komplikasi dari penyakit yang tidak terkendali dengan baik.

Hal yang lain yang dikawatirkan adalah penanganan alat terapi seperti ini akan membuat “lost cost therapy” biaya pengobatan terbuang percuma. Apalagi untuk terapi penyakit kronis biasanya dibutuhkan waktu pengobatan jangka panjang.

Sampai saat ini banyak sekali terapi alternatif yang digunakan oleh berbagai praktisi klinis dalam penanganan alergi. Selain bioresonansi terapi alternatif lainnya yang banyak digunakan adalah terapi pendulum (bandul), cytotoxic testing, iridology, kinesiology, allergy testing, IgG antibody testing, VoiceBio, iriodologi mata, tes rambut, tes alcat, IgE4 dan sebagainya. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut juga banyak dilakukan oleh para klinisi untuk mendiagnosis penderita autism. Bukan hanya di Indonesia, pendekatan terapi alternatif tersebut juga banyak dilakukan di dunia internasional bahkan juga dilakukan oleh banyak dokter di luarnegeri. Sehingga berbagai institusi alergi international dan dunia tidak henti-hentinya selalu mengingatkan masyarakat maupun dokter bahwa semua pemeriksaan alternatif tersebut tidak direkomendasikan dalam mendiagnosis dan menangani penderita alergi.

 

END POINT :

  • Bioresonansi tidak terbukti secara ilmiah manfaatnya sebagai alat diagnosis dan terapi alergi
  • Tes alergi yang tidak terbukti secara ilmiah termasuk klasifikasi “unproven”,  “unorthodox” atau “alternative test” tidak direkomendasikan dan  ditolak dengan keras oleh berbagai badan alergi internasional
  • Penanganan terbaik alergi adalah mengidentifikasi penyebab dan menghidarinya
  • Tes alergi yang sudah diakui di bidang kedokteran atau direkomendasikan karena terbukti secara ilmiah adalah tes kulit dan IgE RAST, meskipun demikian  tes ini tidak bisa mendeteksi alergi makanan tipe lambat. Sedangkan untuk memastikan alergi makanan adalah dengan DBPCFC atau eliminasi provokasi (Food Chalenge Test)

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Bernstein, I. L., Storms, W. W. (eds). The American Academy of Allergy, Asthma and Immunology and the American College of Allergy, Asthma and Immunology. Practice parameters for allergy diagnostic testing. Joint Task Force on Practice Parameters for the Diagnosis and Treatment of Asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 1995; 75 (Pt 2): 543-625.
  2. Stewart, T. C. Vega testing in the diagnosis of allergic conditions. Med J Aust 1991; 155: 423.
  3. Katelaris, C. H., J. M. Weiner, et al. Vega testing in the diagnosis of allergic conditions. The Australian College of Allergy. Med J Aust 1991; 155: 113-4. (http://www.mja.com.au/public/guides/vega/vega.html),
  4. Voll R. The phenomenon of medicine testing in electroacupuncture according to Voll. Am J Acupuncture 1980; 8: 87.
  5. George T Lewith, Julian N Kenyon, Jackie Broomfield, Philip Prescott, Jonathan Goddard, and Stephen T Holgate. Is electrodermal testing as effective as skin prick tests for diagnosing allergies? A double blind, randomised block design study. BMJ 2001; 322: 131-134
  6. Semizzi M, Senna G, Crivellaro M, Rapacioli G, Passalacqua G, Canonica WG, Bellavite P. A double-blind, placebo-controlled study on the diagnostic accuracy of an electrodermal test in allergic subjects. Clin Exp Allergy2002; 32: 928-32.
    http://www.allergy.org.au/content/view/218/77/
  7. Kenyon JN. 21st century medicine: a layman=s guide to the medicine of the future. Wellingborough, Northants: Thorsons, 1986.
  8. Fehrenbach J, Noll H, Nolte HG, et al. Short manual of the Vegatest-method. Schiltach: BER, 1986.
  9. Krop J, Swiertzek J, Wood A. Comparison of ecological testing with the Vega test method in identifying sensitivities to chemicals, foods and inhalants. Am J Acupuncture 1985; 13 253-259.
  10. Kenyon J. EAV diagnosis. J Gen Pract 1986: 3; 2.
  11. Sullivan SG, Egglestone DW, Martinoff JT, Kroening RJ. Evoked electrical conductivity on the lung acupuncture points in healthy individuals and confirmed lung cancer patients. Am J Acupuncture 1985; 13: 261-266 .
  12. C H Katelaris, J M Weiner, R J Heddle, M S Stuckey and K W Yan for POSITION STATEMENT Vega testing in the diagnosis of allergic conditions The Australian College of Allerg
  13. Matsumoto T, Hayes MF. Acupuncture, electric phenomenon of the skin, and postvagotomy gastrointestinal atony. Am J Surg 1973; 125: 176-180.
  14. David TJ. Unorthodox allergy procedures. Arch Dis Child 1987; 62: 1060-1062.
  15. Anonymous. Medical Practitioners Disciplinary Committee: professional misconduct findings against Dr D W Steeper [Medico-legal]. N Z Med J 1990; 103: 194-195.

 

 

Provided by

DR WIDODO JUDARWANTO
children’s ALLERGY CLINIC 

JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210

PHONE : (021) 70081995 – 5703646

email : allergyonline@gmail.com, www.childrenallergyclinic.com/

 

Copyright © 2009, Children Allergy Clinic Information Education Network. All rights reserved.


Responses

  1. sangat membingungkan memang mslh bioresonansi ini. untuk mndptkn pengakuan yg luas sy spkr hrs ada yg berani menulis data ato penelitian yg telah mengikuti terapi ini.

  2. jika bioresonansi dll tdk dapat mendeteksi dg akurat pencetus dan penyebab alergi, lantas dg cara apa alergi bs dideteksi?
    eliminasi makanan mungkin cocok bila pasien tsb memang alergi thd makanan, tapi alergi debu, serangga, dll apakah dapat dideteksi dg eliminasi makanan????

    • Untuk memastikan penyebab alergi debu, tungau dan sebagainya tetap harus dengan tes kulit atau RAST DAN HANYA KEDUA TES TERSEBUT YANG TERBUKTI SECARA ILMIAH. Tetapi bila dicermati debu dan sebagainya mungkin bisa jadi penyebab bila dalam jumlah banyak seperti rumah yang tidak ditinggali dalam seminggu, bongkar-bongkar kamar, baju lama yang disimpan di lemari, atau bongkar2 gudang.
      Buktinya keluhan alergi sering timbul pada malam dan pagi hari padahal debu dan sebagainya lebih aktif dan lebih banyak pada siang hari. Penelitian di Swedia menunjukkan dengan pemakaian karpat di rumah yANG MENURUN TETAPI MALAHAN KEJADIAN ALERGI MENINGKAT PESAT.

  3. […] Rekomendasi :  Tes Alergi Alternatif (unproven) seperti bioresonansi dan sebagainya adalah tes yang tidak direkomen…  […]

  4. saudara dekat maupun kenalan saya banyak yg tergiur dg terapi yg satu ini, bioresonansi, dan tampaknya sangat melebih2xkan kehebatan terapi ini. padahal saya blm lihat hasilnya scr nayta tuh…

    sangat disayangkan apabila terapis yg bersangkutan sering “mislead” seolah2x terapi non-medis paling aman dan paling efektif, dan terapi medis bagaikan monster yg mengerikan… saya menghimbau agar kita mau banyak baca ataupun browsing utk mendapat kejelasan ttg suatu informasi…

    biasakan mencaritahu bukti data statistik kesuksesan suatu terapi meski iklannya tampak hebat 🙂

  5. waduh jadi tambah bingung,hiks hiks 😦 anakq 10 bulan nih alergi,aq mau coba bawa ditempat terapi namax Bioresonansi,kalo semua seperti yg dikatakan datas(Bioresonansi tidak terbukti secara ilmiah manfaatnya sebagai alat diagnosis dan terapi alergi) trz saya kemana???aq kedoketr anak yg ada dibilang cuman anakq alergi laktosa n hindari aja susu sapi,tpi ni dikit2 anakq merah2 pdhl udh g mnm susu yg mgndg laktosa,debu jg qhindari dsbnya berupaya se safety mgkn tpi toh merah2 jg,trzz kemana mau qbawa anakq biar tau sbnrx alergi apa n pengobatannya jelas gk maen angkat kira2 aja.

    tolong bwat bpk/ibu dokter yg bijaksana tolong bantu saya yg awam ttg kedokteran.sy kasian liat anakq dikit2 bdnx merah.agar saya gk salah jalan menghabiskan uang yg tdk tau arah.saya sekarang berdomisli disurabaya.apapun pengobatan n dimanapun tlg bantu saya biar anakq bisa diatasi alerginya.trima kasih banyak 🙂

    • Alergi makanan paling sulit untuk memastikannya karena untuk gold standard diagnosisnya dengan eliminasi provokasi. Sedangkan ketidak cocokan makanan bukan hanya karena alergi makanan tetapi juga intoleransi makanan. Untuk memastikannya bukan dengan tes alergi, memang tes kulit dianjurkan dan sensitif tetapi spesifikasinya tidak tinggi sehingga hasil negatif bwelum tentu bukan tidak cocok makanan, Coba lohat artikel lainnya tentang alergi makanan

  6. Saya sudah mencoba metode bioresonansi (cincin) ini pada anak saya dengan dokter spesialis THT yang juga menerima pasien alergi.

    Metode ini saya coba karena anak saya tidak mungkin didiagnosa dengan metode medis (tusuk jarum) akibat trauma dgn terapi fisik. Dan dengan eliminasi makanan tidak menunjukkan hasil.

    Hasil diagnosa: alergi vetsin/msg. Sementara ini masuk akal, krn masih menyusui dan terkadang ibunya makan di luar atau indomie. Dan tampaknya reaksi alergi ini berbanding lurus dengan makanan ibunya (mengandung vetsin atau tidak).

    Untuk terapinya, belum saya coba.

    Saya tidak mengatakan bahwa metode ini pasti berhasil dalam mendiagnosa, tapi tidak ada salahnya mencoba. Terutama jika metode medis belum menunjukkan hasil. Metode diagnosa ini cepat dan relatif terjangkau.

  7. […] Rekomendasi :  Tes Alergi Alternatif (unproven) seperti bioresonansi dan sebagainya adalah tes yang tidak direkomen…  […]

  8. waduh..sy kok jd bingung. saat ini anak sy 2,8th terapi alergi bio-e / biocom. tes alerginya jg banyak banget termasuk beras, terigu, wortel. sebelum kenal bio-e ini dari internet, sy bw ke dokter anak dan spesialis tht. tp tak kunjung sembuh. akhirnya sy browsing ketemulah bio-e. pas sy jalani, ternyata terapinya lama banget, biayanya gede banget. terapi 1 mgg 1x/150rb. 4 mgg berarti 1 bln 600rb. dan utk terapi alergi sentral yaitu beras dan terigu hrs 2x terapi. sy mau hentikan krn biaya. gmn dong. tes kulit & rast itu apa dan bgm? krn selama tes bio-e ini batuk anak sy berkurang bahkan sdh beberapa mgg ini tdk batuk. biasanya batuk terus, obat hbs, 2 hr lagi batuk lg. sy mesti gmn, tolong bantuannya. krn sy tdk mau anak sy dikasih obat2an kimia. dan ada yg blg juga, kl tes alergi yg disuntik itu jg kurang baik, ditakutkan menimbulkan alergi baru krn suntikannya itu dimasukkan beberapa alergen, juga bikin sakit.kasian kl anak kecil kan. mohon solusinya.


Leave a comment

Categories