Posted by: Indonesian Children | October 25, 2010

Penggunaan Imunoterapi Pada Penderita Alergi

  Penggunaan Imunoterapi Pada Penderita Alergi

Immunotherapy

Alergi adalah penyakit kronis yang sangat mengganggu hilang dan timbul tidak menentu, sulit dideteksi penyebabnya. Berbagai pendekatan terapi pada alergi telah dilakukan salah satu diantaranya adalah imunoterapi. Imunoterapi atau  desensitisasi atau allergy injection therapy  adalah suatu terapi yang memerlukan proses panjang dari suatu suntikan yang berulang dari ekstrak alergen yang disuntikkan pada pasien dengan penyakit alergi, yang jelas faktor alergen pencetusnya, dengan tujuan untuk mengurangi gejala penyakitnya. Pengobatan ini efektif pada penyakit alergi derajat ringan dan yang tidak responsif terhadap terapi standar. Imunoterapi merubah pejalanan penyakit, dan menghambat terjadinya asma pada anak dengan rinitis alergika. Imunoterapi spesifik masih merupakan pengobatan pilihan untuk reaksi sistemik pada sengatan tawon dan lebah. Mekanisme yang jelas pada kegunaan imunoterapi masih belum jelas. Diduga efek pada Sel T regulator, berkaitan dengan  pergeseran sel B dalam produksi IgG4. Efek imunoterapi memerlukan waktu lama, tetapi begitu tercapai, memberikan perbaikan klinis yang berlangsung lama, sedangkan farmakoterapi, bermanfaat selagi pemberian berlangsung. Tehnik baru imunoterapi saat ini sedang dikembangkan meliputi alergen rekombinan, alergen hipoalergenik, vaksin peptida Sel T, stimulan Th1, dan anti-IgE, yang hasilnya cukup menjanjikan untuk digunakan pada penyakit alergi. Terapi ini direkomendasikan pada penyakit alergi saluran pernafasan, terutama asma dan rinitis bersama dengan penghindaran alergen dan penggunaan obat-obatan.

Pertama kali imunoterapi alergen dilakukan dan dilaporkan oleh Noon dan Freeman  pada tahun 1910 yang menguraikan pembuatan ekstrak grass pollen dan disuntikkan dengan dosis yang meningkat pada penderita rhinitis alergi. Sejak itu digunakan selama kurang lebih 90 tahun untuk mengobati penyakit alergi yang disebabkan oleh alergen inhalasi dan ternyata efektif pada rhinitis dan juga asma alergi, tetapi tidak diindikasikan pada alergi makanan.
 
Tahun 1918 Cooke dari Amerika Serikat melaporkan suatu kondisi alergi seperti hay fever dan asma yang berasal dari antibodi yang timbul setelah pajanan agen sensitizing. Pada tahun 1922 ia mengemukakan metode hiposensitisasi untuk mengobati pasien alergi dan hal ini yang berkembang menjadi imunoterapi sampai saat ini.  Sebelum itu, Prausnitz dan Kustner tahun 1921  melakukan percobaan dengan menyuntikkan serum yang tidak dipanaskan dari donor alergi kepada resipien non-alergi (uji P-K). Mereka berhasil membuktikan bahwa individu alergi memiliki serum terhadap antigen spesifik (reagin) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu non alergi. Cooke tahun 1935 mengemukakan konsep antibodi penghalang (blocking antibody) yang meningkat pada pemberi-
an imunoterapi. Tahun 1967 pertamakali dikemukan nama im- munoglobulin E (IgE) oleh Ischikawa dan tahun 1977 Yungiger dan Gleich mengemukakan bahwa terjadi kenaikan titer IgE pada saat musim semi dan terjadi penurunan apabila musim tersebut berganti.
 
Dari beberapa studi metaanalisis yang pernah dilakukan mendapatkan hasil yang bervariasi. Portnoy melakukan dua metaanalisis untuk mengidentifikasi efikasi imunoterapi dan menyatakan dalam kesimpulannya, bahwa terdapat kegagalan untuk menunjukkan efek terapeutik imunoterapi karena hasil- nya bervariasi yang disebabkan heterogeniti setiap uji klinik. Perbedaan tersebut meliputi seleksi subyek, populasi, protokol pengobatan, efek pengobatan yang dilakukan secara con-
comitant atau concurrent, durasi pengobatan dan follow up.
 
Abramson dan kawan-kawan melakukan metaanalisis ter- hadap 20 RCT tentang penggunaan imunoterapi pada asma. Mereka mendukung imunoterapi sebagai terapi tambahan asma alergi, walaupun harus ada panduan yang harus diikuti. Faktor yang harus diperhatikan adalah penilaian risiko, kontraindikasi, penilaian awal, supervisi ketat seorang konsultan, follow up dilaksanakan dengan baik, ketersediaan ekstrak alergen yang spesifik dan efektif serta fasilitas dan sumber daya yang mengerti pengelolaan efek samping yang timbul. Pengkajian terhadap data studi metaanalisis Abramson tersebut dilakukan oleh Finegold dan menyimpulkan imunoterapi pada asma merupakan pengobatan yang efektif namun perlu pertimbangan sebagai yang utama dalam pengobatan asma alergi
 
Badan kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan pemberian imunoterapi dengan ketentuan sebagai berikut:
  • Imunoterapi sebagai terapi tambahan selain menghindari pajanan alergen dan sebagai pengobatan pasien rhinitis yang diinduksi alergen
  • Imunoterapi harus dimulai sejak dini untuk mengurangi risiko efek samping dan untuk mencegah perkembangan penyakit menjadi lebih berat. Argumen untuk melakukan imunoterapi adalah sebagai berikut :
  1. respons terhadap farmakoterapi tidak maksimal
  2. terjadi efek samping obat
  3. penolakan tatalaksana dengan menggunakan farmakoterapi
  4. imunoterapi spesifik secara injeksi (subkutan) dapat digunakan pada rhinitis berat dan berkepanjangan (biasanya berhubungan dengan asma)
  • imunoterapi spesifik secara lokal (intranasal dan sublingual-oral) dapat digunakan pada pasien tertentu dengan riwayat terjadi efek samping dan menolak suntikan.

Prinsip Klinis Imunoterapi

Prinsip pertama dari imunoterapi adalah bahwa efektifitas klinis tergantung dosis, dosis minimal tertentu dari ekstrak alergen harus diberikan untuk mendapatkan suatu kontrol gejala yang efektif. Ekstrak alegen ini dibuat dengan proses yang khusus dengan mencampurkan sumber material alergen (pollen, mold spores, dust mites, or animal pelts)  pada cairan buffer untuk mengekstraksi komponen yang larut dalam air. Pada saat ini banyak ekstrak alergen komersial dibawah lisensi FDA yang dijual di pasaran. Penggunaan alergen yang dimurnikan, sebagian dimurnikan atau yang tidak dimurnikan, ternyata memberi hasil yang sama.

Efek terapi meningkat bersamaan dengan lamanya pengobatan. Perbaikan yang nyata biasanya baru tampak setelah terapi diberikan 6 bulan atau lebih. Belum jelas kenapa diperlukan waktu yang sedemikian lama, baru kelihatan efeknya. Mungkin oleh karena diperlukan waktu yang cukup panjang untuk menaikkan dosis alergen yang terkecil yang di toleransi sampai konsentrasi 10.000 kali untuk mencapai kadar yang memberi efek klinis dan imunologis. Efek klinis terus meningkat sampai beberapa tahun setelah suntikan dihentikan. Lamanya penyuntikan ini perlu dibicarakan dengan pasien atau keluarganya sebelum memulai terapi.

Sebagian besar gejala pasien berkurang, dan imunoterapi hanya mengurangi beratnya gejala tetapi tidak menghilangkannya. Sejumlah 25% pasien tidak menunjukkann perbaikan yang berarti, hal ini perlu dibicarakan terlebih dahulu sebelum memulai terapi.

Reaksi anafilaksis yang bersifat sistemik sering dilaporkan. Reaksi ini biasanya ringan dan tidak mengancam kehidupan, tetapi mungkin membutuhkan epinefrin untuk mengatasinya, biasanya cukup dengan satu dosis epinefrin. Reaksi ini sangat mungkin terjadi oleh karena pasien diberikan alergen yang berdasarkan pemeriksaan RAST dan tes kulit memang sensitif, serta diberikan penyuntikan secara berulang. Jadi untuk mengantisipasi terjadinya reaksi anafilaksis pasien harus menunggu 20-30 menit, baru boleh pulang. Dokter harus mempunyai kemampuan untuk mengatasi reaksi anafilaksis dan mempunyai obat-obatan dan peralatan yang memadai.       

Penelitian sedang dilakukan dengan penambahan ajuvan untuk meningkatkan efektivitas dari imunoterapi, dan memodifikasi alergen untuk mengurangi risiko reaksi anafilaksis yang berat. Rute lain untuk memberikan ekstrak alergen tanpa suntikan juga sedang dikembangkan, yang mulai dilakukan sekarang adalah rute secara sublingual.

Mekanisme Kerja

Mekanisme dan cara kerja yang pasti dari imunoterapi belum diketahui.  Beberapa mekanisme imunoterapi telah dikemukakan untuk menerangkan keberhasilan imunoterapi yaitu

  • Induksi pembentukan IgG (blocking antibody)
  • Penurunan produksi IgE
  • Penurunan pengerahan sel efektor
  • Perubahan keseimbangan sitokin (pergeseran dari Th2 ke Th1)
  • Anergi sel T
  • Induksi terjadinya Sel T regulator
Atopi adalah peningkatan sensitivitas sebagai hasil peningkatan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan yang umum seperti tungau, serbuk sari atau bulu hewan. Pajanan berulang terhadap alergen secara bermakna akan meningkatkan prevalensi asma. Sembilan puluh persen penyandang asma anak dan 80% dewasa adalah atopi. Asma alergi/atopi ditandai dengan infiltrasi eosinofil dan sel T helper 2 (Th-2) ke mukosa bronkus, peningkatan antibodi IgE spesifik dalam sirkulasi, uji kulit positif dengan menggunakan alergen yang umum dan hipereaktivitas bronkus. Melalui Interleukin-4 (IL-4) dan IL-13, sel B akan distimulasi untuk menghasilkan IgE dan melalui IL-5 akan terjadi pertumbuhan, diferensiasi dan mobilisasi eosinofil ke saluran pernapasan pada pajanan ulang terhadap alergen. Interleukin-13 berperan sebagai regulator respons inlamasi dengan menghambat aktivasi dan penglepasan sitokin inflamasi.
 
Imunoterapi bekerja pada antibodi spesifik terhadap alergen. IgE spesifik meningkat sementara pada awal pemberian imunoterpi, tetapi menurun setelah dosis rumatan. Reaksi cepat kulit menurun setelah imunoterapi tetapi sangat kecil perannya dalam perbaikan klinis. Dipihak lain, reaksi lambat pada uji kulit menurun secara nyata setelah imunoterapi. Imunoterapi juga mengiduksi IgG spesifik terhadap alergen, berfungsi untuk meniadakan respons alergi walaupun terdapat korelasi lemah dengan perbaikan klinis. IgG terutama meningkat berkorelasi dengan peningkatan dosis.

Sel T juga berperan pada imunoterapi. Baik pada kulit maupun mukosa hidung jumlah penyusupan sel T dan eosinofil menurun pada akhir imunoterapi. Seiring dengan itu, terjadi pergeseran keseimbangan sitokin Th-1 dan Th-2, terjadi peningkatan IL-2, IFN-γ dan IL-12.5Setelah imunoterapi dengan sengat lebah, terjadi induksi sel T regulator yang menghasilkan IL-10 dan pergeseran sitokin kearah Th-1. IL-10 mempunyai peran komplek termasuk produksi IgG4 sebagai indikator keberhasilan imunoterapi. Penelitian di Surabaya menunjukkan bahwa imunoterapi dengan ekstrak debu rumah pada penderita asma anak menyebabkan penurunan IL-4, IL-5, kenaikan IFN-γ dan IL2. Penambahan kortikosteroid hirupan selama 3 bulan pada penelitian ini menyebabkan penekanan lebih besar pada penurunan IL-5 menginduksi modulasi respons imun yang mengakibatkan perbaikan klinis yang ditunjukkan dengan perbaikan reversibilitas FEV-1.

Imunoterapi rupanya mempunyai efek modulasi pada sel T, hal ini menerangkan mengapa gejala klinis dan reaksi lambat sangat ditekan walaupun penurunan antibodi tidak menurun bermakna. Berdasarkan hal ini beberapa formula baru imunoterapi telah dirancang dengan menggunakan peptida sel T atau bentuk konjugasi alergen untuk menggeser sitrokin kearah pola Th-1.

Imuno terapi Untuk Asma
 
Meta-analisis menunjukkan peran bermakna imunoterapi pada asma.  Beberapa penelitian buta ganda kontrol plasebo menunjukkan 60-70% penurunan skor gejala dan perbaikan fungsi paru. Terdapat kegagalan sebesar 24% pada penggunaan imunoterapi untuk asma ringan, dan jika dikombinasikan dengan kortikosteroid hirupan, maka keberhasilan pengobatan mencapai 100%.

Imunoterapi dapat mengurangi gejala asma, penggunaan obat untuk asma dan memperbaiki hipereaktifitas bronkus. Efektifitas imunoterapi bisa disetarakan dengan kortikosteroid hirupan. Kemungkinan terjadinya efek samping renjatan harus diperhitungkan pada imunoterapi. Pada anak asma dan rinitis yang sensitif terhadap debu rumah, imunoterapi dapat dipertimbangkan sebagai terapi alternatif atau tambahan disamping medikamentosa. Imunoterapi bisa merubah perjalanan penyakit asma, dan jika diberikan pada awal penyakit alergi yang lain seperti rinitis alergika, dapat merubah perjalanan penyakit, mencegah sensitisasi baru, dan mencegah perkembangan penyakit menjadi asma.

Analisis lain menyimpulkan bahwa imunoterapi dapat berfungsi sebagai imunomodulator, untuk memperbaiki, dan mencegah perkembangan penyakit alergi menjadi asma. Imunoterapi merupakan terapi imunologi yang tersedia saat ini yang bisa mengontrol dan mencegah penyakit alergi. Dan penelitian saat ini membuktikan bahwa imunoterapi adalah aman, efektif, dan murah. Jadi pada masa harga obat mahal seperti saat ini, imunoterapi bisa diberikan pada pasien tertentu.

Pada asma, imunoterapi bisa dilakukan dengan cara sublingual. Penggunaan imunoterapi sublingual selama dua tahun ternyata efektif dan secara bermakna menurunkan gejala asma ringan dan sedang pada anak yang sensitif terhadap debu rumah.

Mekanisme kerja imunoterapi terhadap asma atopi masih merupakan hipotesis. Efek imunologis yang terjadi setelah pemberian imunoterapi adalah sebagai berikut:
  • Antibodi penghalang Imunoterapi akan menginduksi IgG spesifik alergen (IgG4) yang berperan sebagai antibodi penghalang yang bersaing dengan IgE untuk berikatan dengan alergen. Sejumlah studi mengemukakan bahwa terbukti ada hubungan antara pengurangan gejala alergi dengan jumlah IgG serum
  • Penurunan IgE Penurunan secara bertahap IgE spesifik alergen pada pemberian imunoterapi, walau pada awalnya terjadipeningkatan. Respons Th 2 terhadap alergen akan dihambat dan menginduksi respons Th1 dengan peningkatan inter- feron (IFN-) dan IL-12. Perubahan fungsi ini akan mempengaruhi produksi IgE, pematangan populasi sel, penglepasan mediator oleh sel mast dan basofil sehingga akhirnya akan menurunkan respons alergi.
  • Modulasi sel mast dan basofil Imunoterapi memodulasi fungsi sel mast dan basofil sehingga terjadi penurunan penglepasan mediator walaupun terdapat IgE spesifik pada permukaannya. Efek ini ditunjukkan dengan penurunan penglepasan histamin pasca-imunoterapi setelah pajanan alergen spesifik yang di- dahului oleh penurunan IgE spesifik atau peningkatan IgG spesifik.
  • Peningkatan aktivitas limfosit T supresor Imunoterapi akan mengubah jaringan kerja pengaturan sel oleh karena peningkatan aktivitas limfosit T supresor. Produksi IgE, pematangan sel mast, aktifasi makrofag, penglepasan mediator oleh sel mast dan basofil akan ber- kurang dan mempengaruhi mekanisme alergi.

Imunoterapi untuk hioersensitifitas terhadap sengat

Sengatan lebah dapat menyebabkan anafilaksis yang dapat menyebabkan kematian. IgE spesifik terhadap sengat dapat ditemukan pada 30-40% individu yang tersengat dan menghilang setelah beberapa bulan. Pada beberapa penderita, IgE ini bertahan beberapa tahun, pada golongan ini sengatan berikutnya akan menyebabkan anafilaksis dan beberapa akan menyebabkan kematian.

Keputusan untuk memberikan imunoterapi pada penderita semacam ini harus berdasarkan pemeriksaan yang akurat dan pendalaman yang baik mengenai perjalanan penyakit. Penggunaan sengat murni dalam imunoterapi sengat menunjukkan perbaikan efektifitas imunoterapi untuk hipersensitifitas terhadap sengat. Preparat yang lama menggunakan ekstrak seluruh badan lebah menunjukkan hasil yang sama dengan plasebo. Setelah menggunakan ekstrak sengat murni, terdapat 10% reaksi sistemik ringan terhadap sengatan lebah.

Imunoterapi untuk rinitis alergika

Imunoterapi spesifik sangat efektif untuk Rinitis Alergika terutama jika penyebabnya terbatas. Seperti penggunaan untuk penyakit lain, sangat penting dilakukan pemilihan pasien yang tepat. Efektifitas imunoterapi terhadap Rinitis Alergika musiman (Seasonal Allergic Rhinitis) terutama yang gagal dengan pengobatan konvensional, telah banyak dibuktikan pada beberapa penelitian. Data yang telah ada menunjukkan bahwa pemberian imunoterapi selama 3 tahun pada Rinitis Alergika cukup efektif memberi penyembuhan, dan kasiatnya masih bertahan sampai 6 tahun setelah imunoterapi dihentikan. Hal ini sangat kontras dengan pengobatan konvensional yang biasanya berhenti kasiatnya begitu pengobatan dihentikan.

Kegunaan imunoterapi untuk rinitis alergi perrenial kurang memuaskan dibanding rinitis alergika musiman. Hal ini mencerminkan lebih kompleksnya faktor penyebab rinitis alergi perrenial. Selain alergi, ada penyebab lain yaitu instabilitas vasomotor, infeksi, dan sensitifitas terhadap aspirin. Beberapa penelitian membuktikan adanya perbaikan toleransi terhadap paparan dengan bulu kucing, baik melalui uji provokasi maupun klinis.

Respons antibodi dan imunoterapi

Terdapat peningkatan kadar IgG spesifik terhadap alergen dalam bulan-bulan pertama imunoterapi. Diperkirakan alergen-spesifik IgG ini berfungsi sebagai blocking antibody dengan menghalangi antigen berikatan dengan IgE, atau menghalang IgE berikatan dengan reseptor FcERI  pada permukaan sel mast atau basofil.

Efek pada sel T

Imunoterapi berperan pada keseimbangan aksis Th1/Th2, dengan bergeser ke arah Th1. Seperti diketahui fenotipe interleukin Th2 dihubungkan dengan peningkatan penyakit alergi, dan produksi interleukin Th1 berpengaruh pada proteksi.

Efek pada sel inflamasi

Dapat dibuktikan bahwa imunoterapi mempunyai pengaruh pada sel mast, basofil dan eosinofil. Terdapat penurunan yang sangat menyolok dari sel mast dan basofil. Juga terjadi penurunan eosinofil dari sekresi nasal dan spesimen bronkial.

PENYAKIT ALERGI YANG DIINDIKASIKAN UNTUK IMUNOTERAPI

Walaupun telah dibuktikan imunoterapi efektif untuk pasien dengan gigitan serangga, rinitis alergi dan asma, tetapi pemilihan pasien dengan hati-hati untuk memulai imunoterapi sangat penting.

Imunoterapi untuk bisa ular dan serangga memberikan efektivitas lebih dari 95%. Tetapi pada anak, imunoterapi terhadap gigitan serangga tidak begitu penting, karena reaksi sistemik yang terjadi biasanya tidak begitu berat. Oleh karena itu untuk anak dengan alergi gigitan serangga, imunoterapi hanya diberikan pada anak dengan riwayat terjadi reaksi yang mengancam kehidupan bila digigit serangga.        

Pada rinitis alergi, imunoterapi hanya diberikan bilamana telah dilakukan penghindaran alergen dan iritan secara maksimal, dan pemberian medikamentosa secara benar dan optimal, terutama oleh karena lamanya terapi. Imunoterapi pada rinitis alergi telah terbukti sangat efektif baik untuk rinitis yang intermiten maupun yang persisten. Lamanya terapi biasanya antara 3-5 tahun, dan  biasanya gejala tetap membaik walaupun pengobatan telah dihentikan.

Pada asma alergi banyak penelitian yang telah membuktikan manfaatnya. Tetapi karena pada asma anak reaksi alergi tipe I hanya merupakan sebagian dari patofisiologinya, imunoterapi harus dipertimbangkan dengan hati-hati, terutama setelah dilakukan penghindaran alergen dan terapi medikamentosa secara maksimal. Kunci dari suksesnya imunoterapi pada pasien asma anak adalah kehati-hatian memilih pasien. Imunotarapi hanya dilakukan terhadap alergen yang bila terpapar jelas menimbulkan serangan, dan juga diperkuat dengan hasil pemeriksaan IgE spesifik. Walaupun imunoterapi tidak di rekomendasikan pada alergi makanan, pilihan imunoterapi terhadap alergi makanan sedang banyak diteliti.

Jenis Imunoterapi

 

 

Local nasal aeroallergen immunotherapy                          

Merupakan bentuk imunoterapi alternatif yang menggunakan larutan alergen yang disemprotkan ke mukosa hidung dengan interval waktu tertentu. Efek samping lokal yang timbul berupa pruritus, kongesti dan bersin. Belum ada penelitian yang merekomendasikan bentuk ini sebagai salah satu imunoterapi.
 
Alum-precipitated allergen extracts
Adalah modifikasi ekstrak alergen cair dengan melakukan presipitasi protein dengan menggunakan aluminium hidroksida yang didahului dengan ekstraksi alergen dengan piridin untuk menghasilkan efek sistemik yang lebih sedikit. Dengan demikian dimungkinkan untuk memberikan imunoterapi dengan
peningkatan dosis yang lebih cepat sehingga mengurangi jumlah suntikan. Contoh ekstrak piridin alum-precipitated pada rumput terbukti efektif tetapi pada ragweed akan mengalami denaturasi sehingga efektivitasnya berkurang.
 
Ekstrak alergen dimodifiksi
Agregasi protein dan ekstrak alergen cair akan mengurangi sifat alergen sedangkan imunogenisitasnya dapat dipertahankan. Terdapat dua metode modifikasi yaitu formalin-treated  allergen (allergoids) dan glutaraldehyde-treated allergen (polymerized allergen extracts). Regimen ini memungkinkan
program imunoterapi diselesaikan 10-15 kali suntikan dengan efek samping reaksi sistemik kurang dari 1%.
 
Imunoterapi sublingual/oral
Sebagai alternatif pemberian imunoterapi yang lebih aman dan nyaman bagi pasien adalah ekstrak tumbuhan yang di- campur dengan alergen dan diberikan secara oral atau sub-lingual. Beberapa studi menyebutkan keberhasilan imunoterapi pada rhinitis alergi. Cara kerja imunoterapi sublingual adalah dengan mengubah respons limfosit T terhadap alergen.
 
Pemberian imunoterapi sublingual ternyata lebih hemat, lebih aman dan nyaman bagi pasien serta tidak memerlukan supervisi medis dalam pelaksanaan tetapi efektifitinya lebih rendah daripada imunoterapi suntikan.
 
Imunoterapi lokal dengan dosis tinggi telah dipakai pada awal pertengahan abad 20. Pada tahun 1998 European Academy of Allergy and Clinical Immunology mengevaluasi  publikasi mengenai lokal imunoterapi antara lain imunoterapi nasal, sublingual, dan intrabronkial. Efek samping lebih sedikit pada prosedur ini dan efektif pada rinitis alergika. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa imunoterapi sublingual dosis rendah juga efektif pada pengobatan asma pada anak. Pada penelitian ini dibuktikan tejadi perbaikan variabilitas PEFR dan penurunan penggunaan obat setelah imunoterapi sublingual selama 3 bulan.

Enzyme-Potentiated Desensitisation.

Pada prosedur ini dosis kecil allergen diberikan bersama enzim beta-glucuronidase. Dosis alergen hanya 0.1% dari dosis subkutan, efek samping tidak pernah dilaporkan. Enzim beta-glucuronidase menyebabkan alergen lebih mudah mencapai sistim imun.dengan efisien dibanding tanpa enzim.

Desensitisasi Homeopathik.

Konsep homeopati adalah pemberian dosis kecil penyebab penyakit. Pengobatan ini terbukti efektif pada pemberian dosis kecil pollen untuk penderita Hay Fever.

Imunoterapi Masa Depan

Dengan kemajuan tknologi biologi molekuler, perkembangan  imunoterapi telah berkembang pesat

Terapi  imunoterapi masa depan

  • Alergen rekombinan. Alergen rekombinan memungkinkan standardisasi alergen yang lebih tepat dan mengatur penggunaan ekstrak terhadap pola reaktivitas yang tidak umum. Sebagian besar penderita alergi bereaksi terhadap komponen alergen yang sama yang disebut common allergen, yaitu alergen yang ditemukan pada serum lebih dari 50% penderita dengan klinis yang serupa terhadap alergen yang sensitif. Sebagian lagi tidak bereaksi tehadap allergen ini sehingga perlu digunakan kombinasi alergen lain yang juga sensitif. Tersedianya alergen rekombinan memungkinkan karakterisasi sensitivitas yang lebih lebar. Tehnologi ini juga memungkinkan dibuat alergen dengan modifikasi molekul tertentu. Telah dibuat rekombinan trimer yang terdiri dari tiga kovalensi alergen utama birch pollen, Bet v1. Bentuk trimer ini mempunyai alergenisitas rendah walaupun mempunyai epitop sel B dan sel T yang sama, dan dapat menginduksi pelepasan sitokin Th1. Yang sangat menarik, trimer rBet v1 menginduksi IgG seperti yang dihasilkan dengan imunoterapi spesifik konvensional.
  • Alergen hipo-alergenik
  • Vaksin peptida Sel T. Vaksin peptida sel T dikembangkan berdasarkan epitop yang diikat oleh IgE tiga dimensi, sedangkan epitop yang dikenali sel T lebih pendek. Dua pendekatan telah dicoba, pertama diberikan dosis besar dari peptida, menyebabkan sel T toleran terhadap dosis besar, kedua dengan memberikan ligan peptida yang telah dirubah. Kedua prosedur memerlukan pemeriksaaan kompleks histokompatibilitas major calon penerima imunoterapi. Dengan cara perubahan sebagian peptida Der p maka proliferasi klon sel T dihambat, dan menekan ekspresi ligan CD40 beserta produksi IL-4, IL-5 dan IFN-γ. Sel T yang anergi ini tidak bisa membantu sel B memproduksi IgE, dan yang penting anergi ini tidak bisa dirubah lagi dengan pemberian IL-4 eksogen. Dari pengalaman epidemiologi dan studi eksperimental telah dibuktikan bahwa vaksinasi BCG menyebabkan penurunan reaksi alergi. Pada percobaan hewan, penyuntikan BCG pada hewan coba yang sedang mengalami sensitisasi dengan ovalbumin mengalami penurunan derajat eosinofilia jalan nafas pada provokasi berikutnya dengan ovalbumin. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh kadar IgE dan eosinofil, tetapi dimediasi oleh IFN-γ, dan dapat berubah kembali dengan pemberian IL-5 eksogen.  Dua pendekatan menggunakan vaksin DNA saat ini sedang dalam penelitian intensif. Pertama, menggunakan cytosine-phosphat-guanosine oligodeoxynucleotides (CpG ODN), yang menyerupai DNA kuman. Bahan ini akan merangsang sitokin Th1. Pada percobaan model asma tikus pemberian CpG ODN mencegah terjadinya eosinofilia dan hiperesponsifitas bronkus.  Kedua, menggabungkan CpG ODN dengan protein alergen, dengan demikian mengurangi alergenistas tetapi merangsang pembentukan Th1.
  • Imunostimulan Th1
  • Komplek alergen-imunostimulan
  • Anti IgE. Imunoglobulin E memegang peran penting dalam patofisiologi penyakit alergi. Imunoterapi baru yang sedang dikembangkan antara lain anti-IgE. Penelitian yang melibatkan banyak subyek berumur 6-76 tahun sedang dilakukan, ternyata hasilnya memuaskan terutama pada penderita asma yang gagal dengan steroid hirupan dosis tinggi. Pengobatan dengan anti-IgE bermanfaat juga pada pasien yang disertai rinitis alergika. Tujuan utama pemberian anti-IgE adalah menghambat peran sentral IgE yaitu menghambat hipereaktivitas tipe I. Hasil akhir pengobatan ini adalah menurunkan IgE tanpa melihat spesifistas alergennya. Jika digabung dengan imunoterapi spesifik, akan meningkatkan efektifitas dan menurunkan efek samping
  
Keamanan
 
Keamanan imunoterapi telah dipermasalahkan sejak awal dalam penggunaannya. Di Inggris antara 1957-1986, 27 reaksi berat telah dilaporkan oleh komite keamanan pengobatan. Terdapat 16 kasus kematian, 16 diantaranya adalah penderita asma. Hal yang sama dilaporkan oleh American Academy of Allergy Asthma and Immunology, kasus kematian imunoterapi kelihatannya sehubungan dengan asma. Angka kejadian reaksi sistemik imunoterapi berkisar antara 5-35%. Penelitian di Surabaya menggunakan imunoterapi untuk asma ringan pada anak selama 3 bulan tidak ditemui efek samping sistemik maupun lokal. Pada umumnya disetujui, imunoterapi tidak dilakukan pada keadaan auto-imun, kelainan jantung, dan penderita yang menggunakan obat antagonis beta
  
Indikasi dan Kontraindikasi
Menurut panduan Allergic Rhinitis and its Impact on  Asthma (ARIA) yang dirumuskan oleh 34 ahli yang bertemu pada bulan Desember 1999 di Jenewa, indikasi imunoterapi adalah untuk penyandang rhinitis atau asma alergi yang di- sebabkan oleh alergen spesifik. Alergen yang diberikan ter- sebut telah dijamin efektivitas dan keamanannya melalui penelitian klinis.
Imunoterapi juga diindikasikan sebagai pro filaksis untuk pasien yang sensitif terhadap alergen selama musim pollen atau perrenial. Penyandang asma yang di- maksud adalah penyandang asma derajat ringan-sedang dan gejalanya dapat berkurang dengan pengobatan atau sudah ter- kontrol dengan farmakoterapi.
 
Sedangkan kontraindiikasi relatif imunoterapi pada asma adalah sebagai berikut:
  • Anak dibawah usia 5 tahun, untuk menghindari kesulitanpenatalaksanaan pasien pada saat terjadi reaksi anafilaksis usia tua, karena efek samping imunoterapi terhadap sistem kardiovaskular dapat ireversibel
  • Keadaan hamil sebaiknya tidak dimulai imunoterapi, akan tetapi bila imunoterapi telah dilakukan sebelum kehamilan, maka dapat diteruskan
  • Penyakit imunopatologik seperti pneumonitis hipersensitif termasuk aspergilosis bronkopulmoner alergi
  • Keadaan imunodefisiensi yang berat
  • Keganasan
  • Kelainan psikiatri yang berat
  • Pengobatan dengan penyekat beta, karena reaksi anafilaksis keadaan akan memberat dan sulit diatasi dengan cara konvensional
  • Pasien tidak patuh
  • Pasien mengalami efek samping yang berat yang berulang selama terapi
  • Asma berat yang tidak terkontrol dengan farmakoterapi
  • Penyakit kronik saluran pernapasan dengan volume eks- pirasi paksa detik 1 (VEP1) < 70% prediksi walaupun telah mendapatkan farmakoterapi yang optimal
  • pasien dengan penyakit kardiovaskular berat yang disebabkan oleh efek anafilaksis terhadap miokardium. Hipotensi dan vasokontriksi pulmoner akan menambah beban jantung juga perfusi miokardium sendiri akan berkurang

Prosedur Pemberian

Keputusan untuk memberikan imunoterapi berdasarkan kriteria pemilihan pasien yang tepat, antigen yang tepat dan dilakukan hanya oleh tenaga medis yang telah mendapat pelatihan dan pengalaman dalam bidang asma dan imunoterapi.
Untuk persiapan pasien dapat mengikuti petunjuk di bawah ini:
  • identifikasi pasien, kehadiran, memanggil nama lengkap dan mencocokkan tanggal lahir atau nomor pasien
  • Riwayat  pasien apakah gejala asma telah terkontrol
  •  Apakah ada riwayat terjadi reaksi pada pemberian terakhir
  • terapkan aturan “3 benar”, yaitu : kartu (chart) yang benar, antigen benar, pasien benar
  • triple check antigen, yakni : label, nama pasien, isi pengenceran, tanggal kadaluarsa, tanggal penyuntikan terakhir

Sebelum melakukan imunoterapi, harus memenuhi syarat sebagai berikut:

  • Observasi pasien dalam 15 menit dan lakukan spirometri atau pengukuran arus puncak ekspirasi (APE). Bila hasil peng- ukuran 20% di bawah nilai tertinggi yang pernah dicapai maka penyuntikan imunoterapi tidak dilakukan.
  • Ekstrak alergen inhalasi
  • Diberikan dengan cara suntikan subkutan pada regio deltoid secara bergantian pada periode imunoterapi. Dengan menggunakan semprit 0,5-1,0 ml untuk pengukuran yang akurat jumlah antigen yang masuk dan jarum 27G untuk kenyamanan pasien. Jarum disuntikkan dan setelah masuk pada posisi subkutan jarum diaspirasi. Apabila darah teraspirasi maka semprit tersebut harus dibuang dan prosedur dimulai lagi dari awal. Semprit yang digunakan harus berbeda untuk setiap pasien untuk mencegah penularan penyakit infeksi. Setelah penyuntikan pasien diminta menunggu selama 20-30 menit untuk mengantisipasi reaksi sistemik yang mungkin muncul dalam periode tersebut. Pasien dengan derajat hipersensitivitas tinggi harus diobservasi selama 30 menit atau lebih.
  • Lakukan penilaian ulang spirometri atau APE 30 menit setelah suntikan dan bila terjadi penurunan 10% akan menjadi dasar untuk mengurangi dosis pada suntikan berikutnya.
  • Ekstrak alergen dapat diberikan secara tunggal atau dicampur (idealnya kurang dari 10 jenis alergen), akan tetapi campuran ini akan mengencerkan kadar setiap alergen dan dapat mengurangi respons terhadap imunoterapi.
  • Jenis alergen yang diberikan tergantung penilaian klinisi didasarkan pada jenis alergen yang memberi hasil positif pada uji kulit dan yang menimbulkan gejala klinis bila terpajan. Jenis alergen yang dapat diberikan secara injeksi subkutan adalah bermacam jenis serbuk sari (pollen), tungau debu rumah dan bulu kucing.
  • Imunoterapi dapat diberikan satu sampai dua kali seminggu dengan dosis awal dimulai dengan 0,05 ml alergen konsentrasi 1:10.000 sampai 1:1.000.000 berat/volume (wt/vol) ditingkatkan sampai tercapai dosis pemeliharaan yaitu 0,05 ml alergen konsentrasi 1:100. Lama penyuntikan 6-10 bulan untuk
    mencapai dosis pemeliharaan.
  • Dosis pemeliharaan diberikan dalam interval 2-4 minggu selama 3-5 tahun dan berdasarkan penelitian, cukup untuk memberikan perlindungan jangka pan-
    jang pada hampir semua pasien (cara lambat).
  • Imunoterapi dengan durasi yang lebih panjang ternyata tidak berguna.
  • Pemberian imunoterapi dengan cara cepat, dilakukan dengan menyuntikkan alergen 4 kali sehari dengan interval 1/2 jam dan diulang setelah 2 minggu. Respons antibodi yang diinginkan terjadi setelah 5 kali kunjungan.
  • Cara Cluster merupakan modifikasi cara lambat dan cepat dengan memberikan 2-4 kali suntikan dalam sehari, diulang setelah 1-2 minggu sampai dosis maksimal dan dipertahankan dengan dosis pemeliharaan.
  • Secara umum dalam pemberian imunoterapi harus memahami :
  1. cara penyesuaian dosis untuk meminimalkan reaksi
  2. cara penatalaksanaan reaksi lokal dan sistemik
  3. telah mendapat pelatihan resusitasi jantung paru
  4. memiliki alat resusitasi termasuk stetoskop, sfigmomano-meter, turniket, jarum suntik, epinefrin, antihistamin, steroid, oksigen, oral airway, cairan intravena, set infus, set trakeos-tomi, nebulizer dan obat bronkodilator inhalasi.

Ekstrak alergen untuk imunoterapi  

Ekstrak alergen didapatkan dengan mengekstraksi material alergen dalam bentuk yang besar dalam cairan buffer. Beberapa produk menggunakan standar alergen dalam mikrogram per milliliter, hal ini sangat penting sebagai pegangan untuk menentukan dosis minimal dan maksimal yang dapat diberikan.

Penyimpanan

Kekuatan alergen berkurang dengan waktu, oleh karena itu harus diperhatikan tanggal kadaluwarsanya, terutama setelah dilarutkan. Tanggal kadaluwarsa ini berdasarkan asumsi bahwa ekstrak alergen disimpan dalam refrigerator dengan suhu dibawah 5° C, karena kekuatan alergenisitas akan lebih cepat berkurang pada suhu > 5° C.

Peraturan penyuntikan dan regimen yang tersedia     

Keputusan untuk memulai imunoterapi harus berdasarkan hasil pemeriksaan IgE spesifik, yang diperkuat dengan anamnesis. Penentuan ini sangat penting dan kompleks, dan sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter ahli alergi, dan tidak hanya berdasarkan pada tes kulit. Biasanya satu set regimen terdiri dari satu vial dengan konsentrasi 1:10, dan 3 atau 4 vial lainnya dengan konsentrasi kelipatan 10 (misal 1:100, 1:1000 dan seterusnya). Setiap vial harus dilabel dengan nama pasien, nama ekstrak alergen dan tanggal kadaluwarsa.

Dosis dan cara pemberian

Prinsip dasarnya adalah dosis permulaan yang diberikan adalah 1/10 dari dosis yang menimbulkan reaksi tes kulit positif, dan dosis dinaikkan sedikit demi sedikit setiap minggunya sampai mencapai 1000-10.000 kali dosis awal yang masih ditoleransi. Biasanya memerlukan waktu sedikitnya 6 bulan deangan penyuntikkan 1 minggu sekali untuk mencapai dosis pemeliharaan. Kalau terjadi reaksi sistemik, maka dosis yang lebih rendah menjadi dosis maksimum yang dapat di toleransi .      

Prosedur aturan  ekstrak alergen

Mulai dengan vial A meningkat sampai vial D, dengan konsentrasi paling tinggi, atau larutan “maintenance”. Injeksi harus diberikan subkutan setiap minggu sampai dosis pemeliharaan tertinggi; 0,5 ml dari vial D. Kemudian ulangi dosis tersebut setiap 2 minggu untuk tahun berikutnya. Setelah tahun pertama, dosis pemeliharaan dapat diberikan setiap 3-4 minggu.

  • Hubungi pusat pelayanan sebelum melanjutkan terapi, bila terapi terlewat selama 4 minggu atau lebih
  • Selama fase persiapan (buildip phase), ulangi dosis apabila dosis terakhir menyebabkan pembengkakan lokal dengan diameter 3 cm atau lebih, atau jika terapi terlewat selama 1-2 minggu
  • Turunkan 2 kali lipat (contohnya 0,4 ml menjadi 0,2 ml) apabila dosis sebelumnya menyebabkan pembengkakan lokal dengan diameter 5 cm atau lebih, apabila timbul reaksi sistemik ringan, atau apabila terapi terlewat lebih dari 2 minggu
  • Turunkan 4 kali lipat (contohnya 0,4 ml menjadi 0,1 ml) apabila terjadi reaksi sistemik
  • Pasien tetap dipantau selama 30 menit setelah setiap injeksi
Vial A (1:10.000) Vial B (1:1000) Vial C (1:100) Vial D (1:10)
0,1 ml0,2 ml0,4 ml0,8 ml 0,1 ml0,2 ml0,4 ml0,8 ml 0,1 ml0,2 ml0,4 ml0,8 ml 0,1 ml0,15 ml0,2 ml0,3 ml0,4 ml0,5 ml

(Nelson HS, 1998)

Lamanya imunoterapi   

Sekali dosis pemeliharaan tercapai, biasanya terapi akan dilanjutkan dalam waktu 3 tahun atau lebih. Kalau seorang anak sudah dapat mentoleransi paparan alergen tanpa menimbulkan serangan, maka imunoterapi dapat dihentikan.

Local nasal aeroallergen immunotherapy
Merupakan bentuk imunoterapi alternatif yang menggunakan larutan alergen yang disemprotkan ke mukosa hidung dengan interval waktu tertentu. Efek samping lokal yang timbul berupa pruritus, kongesti dan bersin. Belum ada penelitian yang merekomendasikan bentuk ini sebagai salah satu imunoterapi.
 
Alum-precipitated allergen extracts
Adalah modifikasi ekstrak alergen cair dengan melakukan presipitasi protein dengan menggunakan aluminium hidroksida yang didahului dengan ekstraksi alergen dengan piridin untuk menghasilkan efek sistemik yang lebih sedikit. Dengan demikian dimungkinkan untuk memberikan imunoterapi dengan peningkatan dosis yang lebih cepat sehingga mengurangi jumlah suntikan. Contoh ekstrak piridin alum-precipitated pada rumput terbukti efektif tetapi pada ragweed akan mengalami denaturasi sehingga efektivitasnya berkurang.
 
Ekstrak alergen dimodifiksi
Agregasi protein dan ekstrak alergen cair akan mengurangi sifat alergen sedangkan imunogenisitasnya dapat dipertahankan. Terdapat dua metode modifikasi yaitu formalin-treated  allergen (allergoids) dan glutaraldehyde-treated allergen (polymerized allergen extracts). Regimen ini memungkinkan program imunoterapi diselesaikan 10-15 kali suntikan dengan efek samping reaksi sistemik kurang dari 1%.
 
Imunoterapi sublingual/oral
Sebagai alternatif pemberian imunoterapi yang lebih aman dan nyaman bagi pasien adalah ekstrak tumbuhan yang dicampur dengan alergen dan diberikan secara oral atau sub- lingual. Beberapa studi menyebutkan keberhasilan imunoterapi pada rhinitis alergi. Cara kerja imunoterapi sublingual adalah dengan mengubah respons limfosit T terhadap alergen. Pemberian imunoterapi sublingual ternyata lebih hemat, lebih aman dan nyaman bagi pasien serta tidak memerlukan supervisi medis dalam pelaksanaan tetapi efektifitinya lebih rendah dari pada imunoterapi suntikan.
 
Penelitian pada anak penyandang rhinokonjungtivitis alergi, menyimpulkan bahwa imunoterapi dengan alergen ekstrak Parietaria judaica sublingual dengan dosis 375 kali dosis suntikan secara bermakna menurunkan gejala rhinitis. Diperlukan penelitian yang lebih jauh untuk mengevaluasi keberhasilan imunoterapi sublingual. Penelitian terhadap penderita  rhinokonjungtivitis dengan atau tanpa asma selama 2 bulan – 4 tahun, menyimpulkan tidak ada efek samping serius pada pemberian imunoterapi sublingual kepada anak dan dewasa penyandang rhinitis alergi dan asma sedang.

  

Reaksi samping yang dapat terjadi

Reaksi samping terhadap imunoterapi biasanya ringan dan tidak membahayakan. Suatu penelitian melaporkan bahwa 3 sampai 7% pasien dapat mengalami reaksi sistemik, dan dapat terjadi pada setiap 250 sampai 1600 penyuntikan. Reaksi dapat terbatas pada urtikaria, tetapi 40-70% dapat mengenai saluran pernafasan (stridor, rinitis, mengi) dan hampir 10% disertai hipotensi. Reaksi yang fatal dapat terjadi pada 1:2 juta atau 1:3 juta suntikan. Reaksi yang tersering terjadi pada waktu pemberian dosis pemeliharaan. Reaksi lebih sering terjadi pada anak remaja dan pada waktu pajanan terhadap alergen tinggi. Faktor risiko untuk terjadinya reaksi berat antara lain asma berat, usia kurang dari 5 tahun dan penggunaan β bloker. Untuk alasan ini, penyuntikan harus dilakukan di fasilitas kesehatan dan oleh orang yang mengetahui dan dapat mengenali dan mengatasi reaksi sistemik anafilaksis. Harus tersedia fasilitas minimal untuk resusitasi. Setelah penyuntikan, pasien harus menunggu selama 30 menit, dan diawasi bila tampak tanda reaksi alergi. Penyuntikan sebaiknya tidak dilakukan dirumah.

Standard peralatan dan obat  resusitasi yang harus tersedia saat  pemberian imunoterapi

StetoskopSfigmomanometerTurniketSyringe dan jarum (beberapa 14 gauge)Peralatan  pemberian oksigen melalui maskerJalan nafas oral Peralatan untuk pemberian cairan intravenaEpinefrin 1:1000Difenhidramin injeksi dan oralKortikosteroid intravenaVasopresor injeksi

(Matsui EC, 2003)

Alergen yang diberikan kepada penyandang asma alergi biasanya sudah dibuktikan terlebih dahulu dengan uji tusuk kulit (skin prick test), sehingga besar kemungkinan terjadi efek samping. Efek samping yang paling sering adalah manifestasi sistemik hipersensitivitas seperti serangan asma, urtikaria, spasme laring, hipotensi dan angioedema.
 
Faktor risiko yang umum adalah penyandang asma, riwayat peningkatan dosis alergen, efek samping sebelumnya dan penyuntikan di- lakukan pada musim parenial. Beberapa studi menganjurkan premedikasi dengan antihistamin atau kortikosteroid, peng- ukuran APE sebelum penyuntikan dan penyuntikan anti-
histamin atau epinefrin setelah imunoterapi untuk mencegah reaksi dan meningkatkan keamanan imunoterapi.
 
Reaksi fatal yaitu kematian menurut The American Academy of Asthma,  Allergy and Immunology  tahun 1900-1991 sebanyak 10 kasus
sedangkan di Inggris tahun 1986 sebanyak 26 kasus. Biasanya reaksi sistemik terjadi dalam 20-30 menit sedangkan reaksi lambat dapat terjadi 6 jam setelah penyuntikan imunoterapi. Imunoterapi dengan cara sublingual atau oral juga memiliki efek samping. Selain efek sistemik yang telah diuraikan di atas dapat terjadi efek samping lokal dan reaksi vasovagal. Reaksi lokal yaitu kemerahan dan pembengkakan pada tempat suntikan yang menimbulkan sedikit keluhan. Pengobatannya dengan melakukan kompres dingin, pemberian antihistamin oral dan pengurangan dosis. Reaksi vasovagal meliputi penurunan tekanan darah dengan perlambatan frekuensi nadi, kulit men- jadi dingin atau hangat disertai pengeluaran keringat tanpa timbul urtikaria atau angioedema. Reaksi vasovagal tidak memerlukan pengobatan dan modifikasi dosis karena segera mem- beri respons dengan menelentangkan pasien.
 

MASA DEPAN DARI IMUNOTERAPI

Alergoid dan ajuvan 

Alergoid diproduksi dengan modifikasi secara kimia atau denaturasi alergen asli, dengan tujuan tetap mempertahankan alergenisitasnya, tetapi mengurangi risiko reaksi anafilaksisnya. Ajuvan digunakan bersama dengan ekstrak alergen untuk meningkatkan respon imunologik dari alergen dan efektivitas dari imunoterapinya.

Peptida dan rekombinan alergen   

Pada era modern dari cloning dan sequenzing, banyak alergen dapat dikarakterisasi pada tingkat molekular. Dengan demikian rekombinan alergen dan peptida alergen dapat diproduksi dan mungkin nanti akan memegang peran penting dalam imunoterapi.

Imunomodulator

Beberapa jenis imunomodulator banyak diteliti dalam strategi terapi penyakit alergi, termasuk imunomodulator terhadap IgE maupun yang berperan terhadap sitokin. Anti IgE telah dievaluasi sebagai pengobatan pada asma dan rinitis alergi. Terapi anti sitokin layak dan mungkin untuk masa depan dapat merupakan terapi yang efektif untuk asma dan rinitis alergi.

Alternatif rute pemberian

Alternatif rute pemberian imunoterapi juga sedang banyak diteliti. Beberapa penelitian klinis membuktikan efektivitas dari imunoterapi secara sublingual. Mekanisme dari imunoterapi dengan rute yang berbeda ini belum diketahui, dan mungkin berbeda dengan rute yang konvensional.

Imunoterapi sebagai preventif

Imunoterapi biasanya ditujukan untuk terapi tidak untuk pencegahan. Tetapi banyak hal membuktikan bahwa spesifik imunoterapi dimasa depan mungkin memegang peran sebagai pencegahan sekunder pada penyakit alergi. Anak yang mendapat imunoterapi untuk rinitis alergi, dapat tercegah dari serangan asma. Walaupun masih banyak memerlukan penelitan, tetapi tampaknya intervensi imunologik dini pada stadium permulaan perkembangan sistem imun, mungkin dapat mengubah fenotipe alergi pada seseorang.

Sebagai terapi Kanker

Imunoterapi digunakan untuk merangsang sistem kekebalan tubuh melawan kanker. Misal, vaksin yang terdiri dari antigen diperoleh dari sel tumor bisa menaikkan fungsi tubuh pada antibodi atau sel kekebalan (t limpiosit). Ekstrak bakteri tuberkolosis yang dilemahkan, yang diketahui untuk menaikkan reaksi kekebalan, telah berhasil ketika ditanamkan ke dalam kandung kemih untuk mencegah kambuhnya tumor kandung kemih.

Terapi antibodi Monoclonal memerlukan penggunaan antibodi yang dihasilkan secara eksperimental untuk menjadikan protein khusus di atas permukaan sel kanker sebagai sasaran. Trastuzumab adalah salah satu antibodi, yang menyerang HER-2/neu receptor yang hadir di atas permukaan sel kanker pada 25% wanita dengan kanker payudara. Trastuzumab meningkatkan efek obat kemoterapi. Rituximab sangat efektif mengobati lymphoma dan leukemia limfositik kronis. Rituximab yang dihubungkan dengan isotop radioaktif bisa digunakan untuk mengantarkan radiasi secara langsung ke sel lymphoma. Gemtuzumab ozogamicin, antibodi dan obat gabungan, efektif pada beberapa orang dengan leukemia myelocytic kronis.

Pemodifikasi reaksi biologis memperbaiki kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk menemukan dan menghancurkan sel kanker, seperti dengan merangsang sel normal untuk menghasilkan utusan kimia (penengah). Interferon (diantaranya ada beberapa macam) adalah yang diketahui terbaik dan sangat luas pemodifikasi reaksi biologis yang digunakan. Hampir semua sel manusia menghasilkan interferon secara alami, tetapi juga bisa dibuat lewat bioteknologi. Walaupun mekanisme tepat pada tindakan tidak benar-benar jelas, interferon mempunyai tugas di dalam pengobatan beberapa kanker, seperti Kaposi’s sarcoma dan melanoma ganas. Interleukin 2, yang dihasilkan pada sel darah putih tertentu, juga bisa membantu sel karsinoma dan metastatic melanoma di ginjal.

Imunoterapi mungkin berpengaruh menekan gejala alergi melalui modifikasi dari respons antibodi, respons limfosit atau respons target sel terhadap alergen. Sedang diteliti untuk mengetahui apakah modifikasi dari reagen imunoterapi atau perubahan rute pemberian akan meningkatkan efektifitas dan dapat mengurangi risiko reaksi anafilaksis. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa imunoterapi dapat mengubah perjalanan alamiah dari penyakit alergi, disamping untuk pengobatan mungkin dimasa depan dapat digunakan untuk pencegahan.

Point of Interest :

  • Efektivitas klinis terjadi setelah dosis pemeliharaan tercapai
  • Terdapat efek plasebo yang bermakna
  • Sekitar 75% pasien mempunyai respons dengan imunoterapi
  • Risiko utama adalah reaksi sistemik
  • Efikasi merupakan dose dependent
  • Imunoterapi hanya efektif pada penyakit yang diperantarai IgE, seperti anafilaksis akibat gigitan serangga, rinitis alergi dan asma
  • Pasien harus dipilih, pasien yang menunjukkan IgE spesifik dan pasien yang tatalaksana medisnya tidak cukup dalam mengontrol penyakit
  • Terapi yang sukses membutuhkan pemberian dosis toleransi maksimal ekstrak alergen dan membutuhkan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun untuk mencapai keuntungan maksimal
  • Dengan adanya risiko anafilaksis selama terapi, injeksi harus dilakukan di tempat dokter atau fasilitas kesehatan yang dapat menunjang resusitasi kardiorespiratorius. Pasien ajrus dipantau selama 30 menit setelah injeksi

End Point :

  • Imunoterapi merupakan pengobatan yang sangat efektif pada pasien dengan alergi gigitan serangga, asma dan rinitis alergi .
  • Imunoterapi juga sebagai imunomodulator, hal ini cukup penting berperanan dalam mengurangi resiko infeksi berulang pada penderita alergi yang masih merupakan masalah utama.
  • Bila prosedur pemberian baik dan digunakan pada pasien yang tepat, imunoterapi sangat efektif dan aman, tetapi harus tetap memperhatikan adanya efek samping. Perlu seorang yang ahli dalam memberikan imunoterapi dan siap dalam penanggulangan efek samping.
  •  Pengembangan masa depan seperti pengembangan ekstrak yang terstandardisasi lebih baik, dan penggunaan ekstrak rekombinan akan memberikan pola keamanan yang sangat baik. Pengembangan ekstrak alergen yang bersifat lebih mengarah modulator imun dengan tujuan pendekatan yang lebih umum untuk penderita yang sensitif terhadap alergen multiple.   

DAFTAR PUSTAKA

  • Rocklin RE, Sheffer AL, Greineder DK et al. Generation of antigen-specific suppressor cells during allergy desensitization. N Engl J Med1980;302(22):1213-9.
  • Till SJ, Durham SR. Immunological responses to allergen immunotherapy. Clin Allergy Immunol. 2004;18:85-104.
  • Akdis CA, Blaser K. Mechanisms of allergen-specific immunotherapy. Allergy 2000; 55:522-530.
  • Purello-D’Ambrosio F, Gangemi S, Merendino RA, et al. Prevention of new sensitizations in monosensitized subjects submitted to specific immunotherapy or not: a retrospective study. Clin Exp Allergy 2001; 31:1295-1302.
  • Condemi JJ, Dykewicz MS, Fineman SM, Hannaway PJ, Lockey RF,
  • Nicholas SS et al. Practice parameters for allergen immunotherapy. J
  • Allergy Clin Immunol 1996; 98: 1001-11.
  • Abramson MJ, Puy RM, Weiner JM. Is allergen immunotherapy effective in asthma? A meta-analysis of randomized controlled trial. Am J Respir Crit Care Med 1995; 151: 969-74.
  • Finegold I. Immunotherapy historical prespective. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 3-4.
  • Norman PS. Immunotherapy: past and present. J Allergy Clin Immunol 1998; 102: 1-10.
  • Platts-Mills TAE, Mueller GA, Wheatley LM. Future direction for allergen immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 1998;102:335-43.
  • Field PI, Gillis D. Specific allergen immunotherapy for asthma. MJA 1997; 167: 540-4
  • Creticos PS. The consideration of immunotherapy in the treatment of allergic asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 13-27.
  • Humbert M, Menz G, Ying S, Corrigan CJ, Robinson DS, Durham SR et al. The immunopathology of extrinsic (atopic) and intrinsic (non-atopic) asthma: more similarities than differences. Review Immunology Today 1999; 11: 528-33.
  • Corry DB, Kheradmand F. Induction and regulation of the IgE response. Nature 1999; 402(Suppl): 18-22.
  • Durham SR, Till SJ. Immunologic changes associated with allergen immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 1998; 2: 157-64.
  • Robinson DS. Allergen immunotherapy: does it work and, if so. How and for how long? Thorax 2000; 55(Suppl 1): S11-4.
  • Ledford DK. Immunotherapy: A practical review and guide. Efficacy of immunotherapy. Immunology and Allergy Clinics of North America 2000; 3: 35-57.
  • Tippet J. Allergen immunotherapy. Immunology and Allergy Clinics of North America 1999; 1: 129-48.
  • Lockey RF. “ARIA”: Global guidelines and new forms of allergen immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 2001; 108: 497-9.
  • Bousquet J, Demoly P, Michel FB. Specific immunotherapy in rhinitis and asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 38-42.
  • Georgitis JW. Immunotherapy and allergen avoidance for allergic airway disorders. Available at: http://www.chestnet.org/education/pccu/vol12/  lesson03.htm. Accessed July 28, 2000.
  • Lockey RF, Nicoara-Kasti GL, Theodoropoulos DS, Bukantz SC. Systemic reactions and fatalities associated with allergen immunotherapy. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 47-55.
  • Patterson R. The role of immunotherapy is respiratory allergic diseases. J Allergy Clin Immunol 1998; 101: S403-4.
  • Frew AJ, White PJ, Smith HE. Sublingual immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 1999; 104: 267-70.
  • Frew AJ, Smith HE. Sublingual immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 2001; 107: 441-4.
  • Andre C, Vatrinet C, Galvain S, Carat F, Sicard H. Safety of sublingual- swallow immunotherapy in children and adults. International Archives of Allergy and Immunology 2000; 121: 229-34.
  • LaRosa M, Ranno C, Andre C. Clinical and immunological effects of a rush sublingual immunotherapy to Parietaria species: a double-blind,
  • placebo-controlled trial. J Allergy Clin Immunol 1999; 104: 425-32.
  • Greineder DK. Risk management in allergen immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 1996; 98: S330-4.
  • Portnoy JM. Immunotherapy for asthma: unfavorable studies. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 28-32.
  • Creticos PS, Van Metre TE, Mardiney MR, Roseberg GL, Norman PS, Adkinson NF. Dose-response of IgE and IgG antibodies during ragweed immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 1984; 73: 94-104.
  • Ilopoulos O, Proud D, Adkinson NF, Creticos PS, Norman PS, Kagey-Sobotka A et al. Effect of immunotherapy on the early, late and rechallenge nasal reaction to provocation with allergen: changes in inflammatory mediators and cells. J Allergy Clin Immunol 1991; 87: 855-66.
  • Durham SR, Ying S, Varney VA, Jacobson MR, Sudderick MR, Mackay IS, et al. Grass pollen immunotherapy inhibits allergen-induced infiltration of CD4+ T-lymphocytes and eosinophils in the nasal mucosa and increases the numbers of cells expressing mRNA for interferon-gamma. J Allergy Clin Immunol, 1996; 97: 1356-65.
  • McHugh SM, Deighton J, Stewart AG, Lachman PJ, Ewan PW. Bee venom immunotherapy induces a shift in cytokine response from Th-2 to a Th-1dominant pattern: comparison of rush and conventional immunotherapy. Clin Expert Allergy 1995; 25: 828-38.
  • Ebner C, Siemann U, Bohle B, Wilheim M, Wiedermann U, Schenk S, et al. Immunological changes durin specific immunotherapy of grass pollen allergy: reduced lymphoproliverative responses to allergen and shift from Th-2 to Th-1 in T Cell clones specific for Ph1 p1, a major grass pollen allergen. Clin Exp Allergy 1997; 27: 1007-15.
  • Bellinghauesen I, Metz G, Enk HA, Cristman S, Knop J, Saloga J. Insect Venom immunotherapy induces IL-10 production and a Th-2 to Th-1 shift, and changes surface marker expression in venom allergic subjects. Eur J Immunol 1997; 27: 586-96.
  • Nasser SM, Ying S, Meng Q, Kay AB, Ewan PW. IL-10 levels increase in cutaneous biopsies of patients undergoing wasp venom immunotherapy. Eur J Immunol 2001; 31: 3704-13.
  • Bellinghausen I, Knop J, Saloga J. The role of IL-10 in the regulation of allergic immune response. Int Arch Allergy Appl Immunol 2001, 126: 97-101.
  • Hedlin G, Wille S, Browaldh L, Hildebrand H, Holmgren D, Lindfors A et al. Immunotherapy in children with allergic asthma: effect on bronchial
  • hyperreactivity and pharmacotherapy. J Allergy Clin Immunol 1999; 103: 609-14.
  • Creticos PS, Reed CE, Norman PS, Khoury J, Adkinson NF, Buncher CR et al. Ragweed immunotherapy in adult asthma. N Engl J Med 1996; 334:
  • 501-7.
  • Barnes PJ. Is immunotherapy for asthma worthwhile? N Engl J Med 1996; 334: 530-2.
  • Durham SR, Walker SM, Varga EM, Jacobson MR, O’Brien F, Noble W et al. Long-term clinical efficacy of grass-pollen immunotherapy. N Engl J Med 1999; 341: 468-75
  • Pajno G, Barberio G, De Luca F, et al. Prevention of new sensitizations in asthmatic children monosensitized to house dust mite by specific immunotherapy: a six-year follow-up study. Clin Exp Allergy 2001; 31:1392-1397.
  • Fireman P. Allergic rhinitis. Dalam: Fireman P, Slavin RG, penyunting. Atlas of allergies. Philadelphia: JB Lippincott, 1991,9.1 -9.18.
  • Fischer TJ, Entis GN, Winant JG, Bemstein IL. Basic principles of therapy for allergic diseases. Dalam: Lawlor GJ, Fischer TJ, penyunting. Manual of allergy and immunology. Diagnosis and therapy. Boston: Little Brown, 1981;45-93.
  • Falliers CJ. Injection therapy. Dalam: Berman BA, MacDonnell KF, penyunting. Differential diagnosis and treatment of pediatric allergy. Boston: Little Brown, 1981; 525-31.
  • Melam H. Principles of immunologic managemant of allergic diseases due to extrinsic antigens. Dalam: Patterson R, penyunting. Allergic diseases, diagnosis and management; edisi ke-2. Philadelphia: JB Lippincott, 1980; 326-37.
  • Frati, F, Moingeon, P, Marcucci, F, et al. Mucosal immunization application to allergic disease: sublingual immunotherapy. Allergy Asthma Proc 2007; 28:35.
  • Noon L. Prophylactic inoculation for hay fever. Lancet 1991;1:1572.
  • Adkinson NF, Eggleston PA, Eney D, et al. A controlled trial of immunotherapy for asthma in allergic children. NEJM 1997;336:324-331.
  • Creticos PS, Van Metre TE, Mardiney MR, et al. Dose response of IgE and IgG antibodies during ragweed immunotherapy. JACI 1984;73:94-104.
  • Golden DB, Marsch DG, Freidhof LR, Kwiterovic KA, Addison B et al. Natural history of hymenoptora venom sensitivity in adult. J Allergy Clin Immunol, 1997, 100: 760-6
  • Vaney VA, Gaga M, Frew AJ, Aber VR, Kay AB, Durham SR. Usefulness of immunotherapy in patients with severe summer hay fever uncontrolled by anti-allergic drugs. Br Med J 1991;302:265-9.
  • Durham SR, Walker SM, Varga EM, Jacobson MR, O’Brien F, Nobel W, et al. Long-term clinical efficacy of grass pollen immunotherapy. N Engl. J Med 1999; 34:468-75.
  • Varney VA, Edward J, Tabbah K, Brewster H, Mavroleon G, Frew AJ. Clinical efficacy of specific immunotherapy to cat dander: a double blind placebo controlled trial. Clin Exp Allergy 1997;27:860-7.
  • Bousquet J, Lockey RF, Malling HJ. WHO position paper. Allergen immunotherapy: therapeutic vaccines for allergic disease. Allergy 1998;53:1-42.
  • Abramson M, Puy R, Weiner J. Immunotherapy in asthma: an updated systemic review. Allergy 1999;54:1022-41.
  • Creticos PS, Reed CE, Norman PS, Khoury J, Adkinson NF, Buncher CR, et al. Ragweed immunotherapy in adult asthma. N Engl J Med 1996;334:501-6.
  • Abramson MJ, Puy RM, et al. Allergen immunotherapy for asthma. Cochrane Database Syst Rev 2003;4:CD001186.

Provided by
children’s ALLERGY CLINIC
 , Yudhasmara Foundation  htpp://www.childrenallergyclinic.wordpress.com/ 

JL Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir jakarta Pusat Jakarta Indonesia 10210, phone : (021) 70081995 – 5703646   

   

Clinical and Editor in Chief :   

Widodo Judarwanto   

email : judarwanto@gmail.com,   

     

    

Information on this web site is provided for informational purposes only and is not a substitute for professional medical advice. You should not use the information on this web site for diagnosing or treating a medical or health condition. You should carefully read all product packaging. If you have or suspect you have a medical problem, promptly contact your professional healthcare provider.   

Copyright © 2010, Children Allergy Clinic Information Education Network. All rights reserved.


Leave a comment

Categories